Alkisah, dalam babad Tanah Jawa, Kiai Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus -satu dari dua wali dari Walisongo di Kudus-adalah sunan yang memiliki kemampuan mengisap kesaktian lawan. Ki Ageng Kedu dan Ki Ageng Pengging (murid Syekh Siti Jenar), adalah korban dari kesaktian Sang Sunan.
Cerita itu direproduksi menjadi balak bagi presiden dan penguasa, untuk tidak sekali-sekali mampir di Kudus. Pengalaman tak adanya presiden yang berkunjung ke Kudus, membenarkan keyakinan mitologis tersebut.
Sulit dipercaya secara rasional, keyakinan mitologi sebuah kunjungan kenegaraan dan peziarahan presiden ke Kudus berpengaruh terhadap kekuasaan. Tapi, bukan hal aneh jika presiden untuk melanggengkan kekuasaannya menggunakan kekuatan spiritual.
Ada pembagian wilayah yang intangible (tak tampak) seperti kekuatan spiritual, mistik atau klenik, dengan wilayah yang tangible (tampak) seperti parpol, massa, atau bedil. Kecuali Habibie yang sophisticate (ngintelek), presiden lainnya sangat dekat dengan force of spirituality itu.
Dan tugas-tugas permistikan tersebut, menjadi kewenangan paten para penasihat spiritual presiden. Namun, aktivitas spiritual, mistik, klenik, atau apa pun namanya, tetap menjadi hidden activities (kegiatan yang tersembunyi) presiden.
Bagi para penasihat spiritual, dampak kunjungan presiden ke Kudus pengaruhnya sama besar dengan impeach DPR terhadap presiden. Apakah kejatuhan Gus Dur yang di-impeach DPR dalam skandal Buloggate -yang tak pernah terbukti- itu bagian dari balak atas kunjungannya ke Kudus?
Pemercaya mitologi meyakini, kejatuhan Gus Dur karena dia melanggar pakem mitologi tersebut. Tapi sebagian yang lain membantahnya, karena sejarah penggantian presiden di Indonesia selalu melalui impeachment dan "kudeta", terlepas dari pernah berkunjung atau tidak berkunjung ke Kudus.
Yang unik adalah keyakinan sebagian orang NU, bahwa mitologi tersebut hanya berlaku bagi presiden dari golongan "abangan", sehingga untuk Gus Dur tak berlaku. Bagi mereka, Gus Dur adalah NU dan seorang wali. Itu similar dengan Sunan Kudus, yang mereka anggap NU dan wali.
Saya tak bisa membayangkan, bagaimana jika kelak presiden Indonesia berasal dari Kudus namun bukan dari golongan NU dan dianggap wali seperti Gus Dur? Apakah dia sementara harus menahan tidak pulang ke kampung halaman, untuk menghindari balak tersebut?
Para pengurus parpol di Kudus, selama ini selalu menahan harapan, karena kotanya tak bakal dikunjungi capres saat kampanye. Mereka yakin, sang capres tak akan pernah mampir di Kudus, karena telah mendapat bisikan spiritual mitologi tersebut.
Amien Rais, adalah pengecualian. Ia dua kali berkunjung ke Kudus semasa menjadi Ketua MPR maupun capres. Amien golongan MD, atau Muhammadiyah yang kontramistik. Tapi, tetap saja para pemercaya mitologi itu meyakini, justru kegagalan Amien dalam pilpres tahap satu lalu karena melawan balak.
Bagi penguasa di Kudus, mitologi itu tentu menguntungkan, karena tak perlu susah payah menyiapkan thethek bengek (berbagai macam) kepanitiaan yang menghabiskan banyak biaya untuk kunjungan presiden. Ruginya, mereka tak bisa memamerkan langsung hasil pembangunannya kepada presiden.
Jika peziarahan terhadap makam wali-wali secara spiritual dipercaya sebagai upaya pengamanan tampuk kekuasaan, maka dipastikan peziarahan itu tak akan pernah lengkap, karena ada dua wali dalam Walisongo yang tak disinggahi presiden.
Mitologi memang bukan ranah yang logik. Tapi, mitologi menjadi khazanah ziarah yang unik, sebagai regional advantage wisata religi Kudus, seperti perspektif Porter dalam Competitive Advantage.
Seperti fragmen "Laila Tak Mampir di New York" dalam novel Saman karya Ayu Utami, seperti itu pula fragmen mitologi "Presiden Tak Mampir di Kudus". Salam! [sm]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar