Jumat, 20 Maret 2009

Kudus Kota Suci

Kudus adalah sebuah kota yang secara geografis terletak di Jawa Tengah tepatnya di sebelah utara pulau Jawa sekitar kurang lebih 51 km ke arah timur ibu kota Jawa Tengah, Semarang. Menurut pendapat Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, diseluruh tanah Jawa hanya ada satu tempat yang namanya diambil dari bahasa Arab yaitu "KUDUS".

Kudus adalah sebuah kabupaten yang mempunyai penduduk kurang lebih 800.137 jiwa (Sensus tahun 2005) ini mempunyai status sebagai kabupaten dengan 9 kecamatan. Kota Kudus sangat strategis letaknya, karena merupakan daerah perlalu-lintasan di jalur pantura yang menghubungkan daerah-daerah sekitarnya, baik daerah di sebelah timur, seperti daerah Pati, Tayu, Juwana, Rembang, Lasem, dan Blora, maupun daerah-daerah sebelah barat seperti Mayong, Jepara dan Bangsri, mempergunakan kota Kudus sebagai daerah penghubung yang menghubungkan daerah-daerah tersebut dengan kota Semarang, sebagai pusat pemerintahan Propinsi Jawa Tengah. Kudus dikenal dengan banyak julukan, diantaranya kota kretek, kota jenang, kota soto, kota wali dan kota santri, hal ini menunjukkan semaraknya dinamika masyarakat yang ada di Kudus.

Kota Kudus disebut juga kota suci dari makna kata Kudus yang berarti "Suci". Konon nama ini diberikan oleh seorang tokoh bernama Ja'far Shodiq atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus, nama "Kudus" sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu Al-Quds, yaitu Baitul Muqasdis berarti tempat suci. di Kudus sendiri terdapat 2 makam sunan penyebar agama Islam di tanah Jawa yaitu Makam Sunan Kudus yang berada di belakang Masjid Menara dan Makam Sunan Muria yang bertempat di lereng Gunung Muria, yang selain sebagai tempat ibadah makam sunan juga banyak dikunjungi sebagai tujuan wisata agama yaitu ziarah Wali Songo. Sebagai daerah tujuan wisata Masjid Menara Kudus adalah salah satu obyek wisata yang selalu ramai dikunjungi masyarakat baik domestik maupun lokal, dimana Masjid Menara merupakan salah satu peninggalan bersejarah dari para wali songo yang dibangun pada tahun 956 H atau 1544 M merupakan hasil asimilasi dari 2 kebudayaan yaitu Hindu dan Islam.

Disamping fungsinya sebagai kota penghubung, kota Kudus termasuk kota yang ramai, karena sebagaimana diketahui, Kudus adalah terhitung kota Industri. Di kota ini banyak terdapat perusahaan (industri) yang memproduksi rokok kretek, gula, pertenunan, percetakan dan lain sebagainya.

Kota Kudus lebih dikenal sebagai kota Kretek sebab dari sinilah industri rokok kretek pertama dimulai, sampai sekarang terdapat lebih dari 50 pabrik Rokok dari home industri sampai industri berskala besar diantaranya adalah PT. Djarum, PT. Nojorono, PR.Sukun, PR. Jambu Bol, selain itu juga terdapat beberapa pabrik berskala nasional maupun international besar bahkan menggunakan teknologi tinggi seperti PT. Pura Barutama, PT. Polytron dan lainnya.

Senin, 16 Maret 2009

Mantapnya Rasa Kopi Jetak , Khas Kudus

KUALITAS bubuk kopi bergantung pada proses pengolahan biji kopi yang dipergunakan. Hal itu menjadi salah satu pembeda kopi jetak dari kopi yang lainnya.
Ya, "kedahsyatan" kopi yang merupakan produksi warga Dukuh Jetak, Desa Kedungdowo, Kecamatan Kaliwungu, Kudus itu tidak terbantahkan.
"Sejumlah penikmat kopi yang saya temui mengungkapkan, kopi Jetak memang lain. Sebab, biji kopi yang dipergunakan sebagai bahan baku berbeda dari kopi yang lain. Proses penggorengan biji kopi sampai berwarna hitam, sedangkan biasanya hanya kecokelatan," ujar pemilik UD Mentari, Sudirman.
Pusat kopi yang berlokasi tepat di depan Masjid Tuwang, jalan Jetak, Kedungdowo, yang dirintisnya sejak sepuluh tahun terakhir itu membuat pria yang dikaruniai delapan anak tersebut tahu betul seluk-beluk perdagangan kopi. Termasuk bagaimana trik mengetahui kopi yang berkualitas.
"Ampas kopi jetak jika dileletkan di sebatang rokok akan langsung kering sehingga api rokok tidak padam dan rokok tetap utuh. Padahal kalau diberi kopi lain yang berkualitas rendah, rokok akan patah dan tidak lagi dapat dinikmati karena kandungan air pada ampasnya tinggi," urainya.
Tanpa Jagung
Menurutnya, hal itu bisa terjadi karena pada proses pengolahan, biji kopi jetak tidak dicampur dengan biji jagung sehingga kualitas bubuk kopinya terjaga.
Selain itu, pada proses penggorengan biji kopi, ditambahkan air kopi sebagai jatu (bahan tambahan). Hal itu untuk memperlama daya tahan kopi. Biji kopi didatangkan dari luar daerah seperti Sumatera melalui pemasok.
"Kopi jetak dapat bertahan sampai setahun. Rahasianya ada pada jatu yang diberikan pada proses penggorengan. Akan berbeda jika jatu ditambahkan setelah proses penggorengan, kopi hanya bertahan enam bulan. Ini adalah salah satu trik yang dipergunakan perajin kopi," ungkapnya.
Di desa seluas 308,227 hektare dengan 199,064 hektare berupa sawah itu terdapat 40 perajin kopi.
Para perajin tersebut, rata-rata membutuhkan 5 - 50 kilogram biji kopi sehari. Biji kopi tersebut kemudian diolah menjadi bubuk kopi.
"Skalanya masih industri rumahan, jadi jumlah produksinya tidak menentu. Jika stok habis, baru para perajin itu memproduksi lagi, bergantung pada pemasarannya," ujarnya.
Kopi tersebut dikemas dalam berbagai ukuran kantong dengan harga jual Rp 25.000 - Rp 30.000 per kilogram.
Pemasaran selain dilakukan di sejumlah pasar di Kota Kretek, juga melebar samapi di luar daerah seperti Demak dan Semarang.

Kyai Telingsing, Guru Sunan Kudus

Jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam di Demak, terjadilah kejadian yang menggemparkan di daerah Kudus. Peristiwa itu terjadi pada diri Kanjeng Sunan Sungging. Pada suatu hari Kanjeng Sunan Sungging bermain layang-layang tersiratlah niat beliau untuk melihat dan berkeliling Wilayah Nusantara. Maka mulailah beliau merambat melalui benang layang-layang yang sedang melayang di angkasa. Pada waktu Kanjeng Sunan Sungging sampai di tengah-tengah angkasa, putuslah benang tersebut dan melayanglah beliau bersama layang-layang tersebut hingga sampai ke Tiongkok, konon hingga di daerah Yunan.

Selang beberapa tahun, Kanjeng Sunan Sungging mempersunting seorang gadis Tiongkok. Dalam beberapa tahun kemudian hamil-lah istrinya itu dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama The Ling Sing. Setelah The Ling Sing menginjak dewasa, maka ayahandanya Kanjeng Sunan Sungging memberi petuah kepada anak tersebut. Apabila engkau ingin menjadi orang yang mulia di dunia dan akhirat, maka ikutilah jejakku. Apakah yang ayahanda maksudkan? Pergilah kau ke Kudus yang termasuk wilayah Nusantara, di sanalah aku pernah berdiam.

Maka berangkatlah The Ling Sing ke Tajug. Setelah ia sampai ke tempat yang dituju, maka mulailah The Ling Sing menyiapkan diri untuk membenahi sekelilingnya dan berdakwah. Dimana pada waktu itu masyarakat Tajug masih kuat memeluk agama Hindu.

The Ling Sing, tiba pada sekitar awal abad ke-15. Konon, beliau datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Kyai Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah. Sebuah seni mengukir kayu dengan gaya Sung Ging sebagai sebuah maha karya ukiran kayu yang terkenal akan kehalusan dan keindahannya.

Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kyai Telingsing, termasuk Raden Ja’far Sodiq (Sunan Kudus), putra sahabatnya Raden Usman Haji (Sunan Ngundung). Dimana kemudian bersama-sama dengan Raden Usman Haji dikenal sebagai pendiri kota Ngundung (Undung) yang juga disebut Tajug dan kemudian dikenal sebagai Kudus. Sehingga, ia pun kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kudus atau Kyai Gede Kudus.

Kyai Telingsing yang telah lama berdakwah telah lanjut usia dan ingin segera mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri (atau dalam bahasa Jawa Ingak-Inguk) seperti mencari sesuatu. Tiba-tiba Ja’far Shoddiq (Sunan Kudus) muncul dari arah selatan, dan secara tiba-tiba pula konon Sunan Kudus membangun masjid dalam waktu yang amat singkat, bahkan ada yang mengatakan masjid itu muncul dengan sendirinya. Berhubung dengan hal tersebut maka desa tempat masjid tersebut berdiri kemudian dinamakan desa Nganguk dan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali. Akhirnya kedua tokoh tersebut bekerja sama dalam mengembangkan dakwah di Kudus. Dan dengan taktik dan siasat dari Kyai Telingsing dan Ja’far Shoddiq (Sunan Kudus) akhirnya berhasil-lah cita-cita keduanya untuk menyebarkan Islam di Kudus.

Pada suatu hari Sunan Kudus akan kedatangan rombongan tamu dari Tiongkok. Maka dipanggillah Kyai Telingsing untuk membuat sebuah kenang-kenangan kepada tamu tersebut. Oleh Kyai Telingsing dibuatlah sebuah kendi yang bertuliskan kata-kata indah di dalamnya. Setelah kendi tersebut jadi, maka segera diberikan kepada Sunan Kudus. Sunan Kudus setelah melihat kendi yang menurutnya kurang bagus dan biasa-biasa saja yang tidak pantas untuk dihadiahkan kepada tamu dari Tiongkok tersebut, wajahnya berubah sinis dan menerimanya dengan kurang berkenan dan dilemparkanlah kendi tersebut. Setelah kendi tersebut pecah, tampaklah lukisan yang indah, dimana ditengah-tengahnya tertulis kalimat syahadat.

Seketika itu terperanjatlah beliau menunjukkan kekagumanya, sehingga beliau menyadari, betapa Kyai Telingsing adalah seorang yang memiliki karomah. Diantara sabda dari Kyai Telingsing, “Sholat Sacolo Saloho Donga sampurna", artinya : Sholat adalah sebagai do’a yang sempurna Lenggahing panggenan Tersetihing ngaji, artinya Menempatkan diri pada sesuatu yang benar, suci dan terpuji.

Beliau kini makamnya di kampung Sunggingan, Kudus. Ada sebagian orang yang mengatakan kalau beliau adalah seorang pemahat yang masuk dalam aliran Sun Ging. Dari nama Sun Ging inilah kemudian terjadi kata Nyungging yang artinya memahat atau mengukir, dan dari kata Sung Ging itu pulalah terjadi namanya Sungingan sampai sekarang ini.

Konon, cucunya yang bernama Jaka Tarub atau Ki Ageng Tarub berhasil memperistri bidadari yang selendangnya ia curi, yakni Dewi Nawangwulan. Yang kemudian melahirkan Dewi Nawangsih yang lalu menikah dengan Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng, yang adalah kakek moyang dari Ki Ageng Sela.

Konon, keahlian ukir dan pahat Kyai Telingsing menyebar ke daerah-daerah sekitar Kudus, seperti Jepara, Demak, Rembang, Pati bahkan Blora. Namun versi lain menyebutkan bahwa khusus di Jepara, seni ukir dikembangkan oleh seorang Cina yang bernama Tji Wie Gwan yang dibawa oleh Raden Toyib setelah pulang dari berguru agama Islam di Campa selama lima tahun. Dimana kemudian Raden Toyib menikah dengan Ratu Kalinyamat dari Jepara.

Tji Wie Gwan sendiri kemudian berhasil membangun Masjid Mantingan pada tahun 1559 M, sehingga kemudian Ratu Kalinyamat dan suaminya menganugrahkan sebuah nama baru untuk Tji Wie Gwan menjadi Sungging Badar Duwung. Sungging artinya ahli ukir, Badar sama dengan batu dan Duwung artinya tatah.

Sungging Badar Duwung inilah yang dikenal sebagai cikal bakal dari seni ukir Jepara yang secara bertahap mulai dikenal diseluruh penjuru tanah air dan dunia. Konon ia juga ikut ambil bagian dari pembuatan Masjid di Loram Kudus dan Masjid Menara Kudus.

Sungging Badar Duwung menurunkan ilmunya kepada masyarakat disekitarnya baik di daerah Jepara maupun di Kudus dan memunculkan ahli-ahli ukir pilih tanding yang dari waktu ke waktu semakin bertambah jumlahnya. Keahlian tersebut secara langsung dan tidak langsung juga bermanfaat dalam proses pembuatan rumah adat Kudus.

Sedangkan nama The Ling Sing alias Kyai Telingsing, sampai sekarang diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Kudus. Di seputar jalan tersebut juga terdapat sebuah kampung atau desa yang bernama Sunggingan yang diperkirakan berasal dari kata Sun Ging tersebut. Daerah tersebut dahulunya diperkirakan merupakan tempat tinggal para pengukir dan pemahat hasil didikan dari Kyai Telingsing. []

Pusaka Sunan Kudus yang Selalu Memainkan Cuaca

KERIS Cintaka, pusaka peninggalan Sunan Kudus memang selalu membawa aura tersendiri saat dijamas. Seakan-akan pusaka tersebut selalu membuat suasana alam menjadi netral.

Seperti yang terjadi Senin (15/12), saat pusaka tersebut dimandikan. Kudus yang akhir-akhir ini lembab dan basah, sejenak berganti teduh tidak lembab, namun tidak juga panas menyengat. Alam seakan netral mengiringi penjamasan.

Entah kebetulan atau mitos, fenomena itu setidaknya sering dirasakan sendiri Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK), EM Nadjib Hasan. “Sejak saya kecil, suasana redup dan teduh saat penjamasan selalu terjadi. Dalam ungkapan Kudusan seperti jembebrek, tidak ada hujan, panas, dan mendung,” ujarnya seusai penjamasan Keris Cintaka.

Nadjib tampaknya tak beromong kosong karena begitu selesai penjamasan keris dan tombak trisula, cuaca langsung terang. “Sudah sering, apalagi beberapa tahun belakangan,” imbuhnya.


Penjamasan terhadap pusaka, menurut Nadjib, dilakukan setiap Senin atau Kamis pertama setelah hari tasyrik. “Kalau setelah hari tasyrik yang jatuh pertama Kamis, pelaksanaannya Kamis. Karena kemarin hari tasyrik jatuh pada Selasa, Rabu, dan Kamis, maka setelah tasyrik yang pertama adalah Senin,” ujar menceritakan pusaka yang dinamai berdasar istilah cinta pusakanya.

Pemilihan hari itu sudah menjadi tradisi turun-temurun sejak dulu. Dengan demikian, pelaksanaannya mengikuti tradisi yang sudah ada. Penjamasan terhadap keris luk sembilan itu, kemarin dilakukan oleh H Fakihuddin. Setelah Keris Cinthoko dijamas, menyusul tumbak peninggalan Sunan Kudus, berupa dua trisula. Dua pusaka tersebut setiap harinya terpampang mengapit pintu mimbar pada Masjid Menara Kudus.

Waktu penjamasan, antara tumbak dan keris diusahakan tidak bersamaan. Kalau kedua pusaka bertemu, salah satu pamor dari pusaka tersebut akan tersedot. Maka, sebelum keris tersebut disarungkan, tumbaknya tidak boleh masuk pada lokasi penjamasan.

Penjamasan atau pembersihan tersebut antara lain menggunakan jeruk nipis, untuk menghapus karat pada besi pusaka. Dilanjutkan dengan merendam pada air merang (batang padi) ketan hitam.

Seusai penjamasan, dilanjutkan dengan tahlil dan doa. Dengan menghidang jajanan pasar. Makanan ringan yang dibeli dari pasar itu sebagai simbol sebuah kesederhanaan. Disajikan juga opor dan ayam bakar tanpa bumbu yang konon merupakan makanan kesukaan Sunan Kudus. [sw-76]

Kudus Kota Mitologi

INDONESIA telah memiliki lima presiden. Tapi dari kelimanya, tak satu pun -kecuali Gus Dur- yang pernah mampir di Kudus. Bagi mereka, Kudus adalah kota mitologi yang tak boleh dikunjungi. Mitosnya, siapa penguasa yang mampir di Kudus, seluruh kesaktian spiritualnya akan runtuh.

Alkisah, dalam babad Tanah Jawa, Kiai Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus -satu dari dua wali dari Walisongo di Kudus-adalah sunan yang memiliki kemampuan mengisap kesaktian lawan. Ki Ageng Kedu dan Ki Ageng Pengging (murid Syekh Siti Jenar), adalah korban dari kesaktian Sang Sunan.

Cerita itu direproduksi menjadi balak bagi presiden dan penguasa, untuk tidak sekali-sekali mampir di Kudus. Pengalaman tak adanya presiden yang berkunjung ke Kudus, membenarkan keyakinan mitologis tersebut.

Sulit dipercaya secara rasional, keyakinan mitologi sebuah kunjungan kenegaraan dan peziarahan presiden ke Kudus berpengaruh terhadap kekuasaan. Tapi, bukan hal aneh jika presiden untuk melanggengkan kekuasaannya menggunakan kekuatan spiritual.

Ada pembagian wilayah yang intangible (tak tampak) seperti kekuatan spiritual, mistik atau klenik, dengan wilayah yang tangible (tampak) seperti parpol, massa, atau bedil. Kecuali Habibie yang sophisticate (ngintelek), presiden lainnya sangat dekat dengan force of spirituality itu.

Dan tugas-tugas permistikan tersebut, menjadi kewenangan paten para penasihat spiritual presiden. Namun, aktivitas spiritual, mistik, klenik, atau apa pun namanya, tetap menjadi hidden activities (kegiatan yang tersembunyi) presiden.

Bagi para penasihat spiritual, dampak kunjungan presiden ke Kudus pengaruhnya sama besar dengan impeach DPR terhadap presiden. Apakah kejatuhan Gus Dur yang di-impeach DPR dalam skandal Buloggate -yang tak pernah terbukti- itu bagian dari balak atas kunjungannya ke Kudus?

Pemercaya mitologi meyakini, kejatuhan Gus Dur karena dia melanggar pakem mitologi tersebut. Tapi sebagian yang lain membantahnya, karena sejarah penggantian presiden di Indonesia selalu melalui impeachment dan "kudeta", terlepas dari pernah berkunjung atau tidak berkunjung ke Kudus.

Yang unik adalah keyakinan sebagian orang NU, bahwa mitologi tersebut hanya berlaku bagi presiden dari golongan "abangan", sehingga untuk Gus Dur tak berlaku. Bagi mereka, Gus Dur adalah NU dan seorang wali. Itu similar dengan Sunan Kudus, yang mereka anggap NU dan wali.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana jika kelak presiden Indonesia berasal dari Kudus namun bukan dari golongan NU dan dianggap wali seperti Gus Dur? Apakah dia sementara harus menahan tidak pulang ke kampung halaman, untuk menghindari balak tersebut?

Para pengurus parpol di Kudus, selama ini selalu menahan harapan, karena kotanya tak bakal dikunjungi capres saat kampanye. Mereka yakin, sang capres tak akan pernah mampir di Kudus, karena telah mendapat bisikan spiritual mitologi tersebut.

Amien Rais, adalah pengecualian. Ia dua kali berkunjung ke Kudus semasa menjadi Ketua MPR maupun capres. Amien golongan MD, atau Muhammadiyah yang kontramistik. Tapi, tetap saja para pemercaya mitologi itu meyakini, justru kegagalan Amien dalam pilpres tahap satu lalu karena melawan balak.

Bagi penguasa di Kudus, mitologi itu tentu menguntungkan, karena tak perlu susah payah menyiapkan thethek bengek (berbagai macam) kepanitiaan yang menghabiskan banyak biaya untuk kunjungan presiden. Ruginya, mereka tak bisa memamerkan langsung hasil pembangunannya kepada presiden.

Jika peziarahan terhadap makam wali-wali secara spiritual dipercaya sebagai upaya pengamanan tampuk kekuasaan, maka dipastikan peziarahan itu tak akan pernah lengkap, karena ada dua wali dalam Walisongo yang tak disinggahi presiden.

Mitologi memang bukan ranah yang logik. Tapi, mitologi menjadi khazanah ziarah yang unik, sebagai regional advantage wisata religi Kudus, seperti perspektif Porter dalam Competitive Advantage.

Seperti fragmen "Laila Tak Mampir di New York" dalam novel Saman karya Ayu Utami, seperti itu pula fragmen mitologi "Presiden Tak Mampir di Kudus". Salam! [sm]

Kamis, 12 Maret 2009

Bordir, Ikon Baru Kota Kudus

Kudus kota kretek … (semua sudah tahu)
Jangan lupa, kalau ke Kudus bawa oleh-oleh jenang … (itu sudah biasa )
Soto kudus memang beda … (itu pun tak mengherankan)
Saudara orang kudus? Wah, bisa pesan baju bordir ni … Saya pengagum bordir kudus, lho. (ini yang kita tunggu-tunggu).

Kudus, memang salah satu kabupaten dengan luas wilayah terkecil di Jawa Tengah. Namun dalam beberapa hal, kota ini memiliki keunggulan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kota ini memiliki warga yang kreatif dan produktif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya warga Kudus yang mengelola home industry, mulai bisnis makanan, tas, sepatu, pakaian dll.
Bila selama jenang dan soto menjadi bisnis di bidang makanan yang mampu menjadi ikon kota kudus, maka tidak berlebihan bila selanjutnya kita mengembangkan dan memaksimalkan bisnis di bidang pakaian, khususnya bordir. Harapannya, ke depan, industri bordir mampu menjadi ikon baru di kota kudus. “Kudus kota bordir,” begitulah kira-kira.
Berbicara bisnis di bidang pakaian khususnya bordir bagi masyarakat kudus sebenarmya bukan hal baru. Apalagi seiring perkembangan teknologi yang ditandai dengan munculnya mesin bordir bertenaga listrik (mesin juki dan komputer), bisnis ini pun kian diminati. Dengan adanya mesin bordir bertenaga listrik, secara otomatis, variasi bordir pun semakin bertambah dan hal ini rupanya mendapat respon positif dari konsumen (pasar).
Sesuai dengan hukum ekonomi bahwa semakin banyak permintaan maka produksi akan semakin bertambah, selanjutnya telah terjadi sinergi yang kondusif antara produsen bordir dan penikmat bordir yang berasal dari lokal maupun luar kota kudus, bahkan luar pulau.
Bukan itu saja. Perkembangan usaha bordir pun membawa berkah tersendiri bagi warga Kota Kudus yaitu, semakin terbukanya lapangan pekerjaan baru yang secara ototmatis pula mengurangi jumlah pengangguran. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya kursus bordir yang siap menyediakan dan menerjunkan lulusannya di bidang tersebut

IKON BARU

Bila dlihat dari segi jumlah (kuantitas), pengusaha yang bergerak di bidang bordir tidaklah sedikit. Di kecamatan Gebog, misalnya. Di sana telah berdiri puluhan jasa pengusaha bordir, mulai dari yang berskala kecil, menengah sampai yang berskala besar. Belum lagi di kecamatan - kecamatan lain, yang banyak pula jumlahnya.
Dari segi kualitas, bordir kudus tidak diragukan mutunya. Melihat kenyataan tersebut, sebetulnya potensi untuk mengembangkan usaha ini sangat besar dan prospektif. Dan potensi besar ini hanya akan menjadi jamur yang bertebaran di musim hujan, yang akan segera hilang, apabila tidak memperoleh perhatian khusus.
Oleh karena itu, perlu ada pembinaan dan perhatian yang lebih besar dari pemerintah daerah, agar usaha ini berkembang dengan baik dan menjadi unggulan kota kudus selain industri kretek, jenang, dan soto yang lebih dulu menjadi ikon kota yang didirikan oleh Sunan Kudus ini.
Perhatian itu bisa diwujudkan, misalnya dengan bantuan modal usaha yang ditujukan untuk pengusaha bordir yang masih kecil, sehingga mereka dapat terus mengembangkan usahanya menjadi lebih besar dan mandiri. Informasi bantuan ini pun hendaknya disosialisasikan secara luas, sehingga bantuan modal tidak hanya dimonopoli oleh pengusaha menengah dan besar.
Selain itu, kerjasama promosi, strategi pemasaran antara pemerintah dan semua pengusaha (kecil, menengah, besar) juga hendaknya digalakkan agar mampu menembus pasar nasional, syukur bisa mencapai internasional.
Selanjutnya, hal yang tidak boleh diabaikan adalah para pengusaha bordir Kudus harus berani bersaing dengan bordir-bordir hasil dari kota lain dalam hal mutu produk. Bagaimana pun, mutu adalah hal utama. Karena suatu produk bisa diandalkan ataupun tidak, tergantung pada mutu produk tersebut.[]

Gapura Arya Penangsang


Gapura Arya Penangsang, yang berada di kota kudus, merupakan salah satu bangunan yang memiliki kekuatan magis yang letaknya berada disamping Masjid Menara.
Kekuatan magis yang berada di gapura tersebut dipercaya oleh masyarakat Kudus, bahkan menurut serita yang berkembang, bangunan ini merupakan malapetaka bagi pejabat yang melewatinya, sebab bagi yang berani melewatinya, maka bersiaplah untuk lengser jika ia sedang memegang jabatan.
Awal mula berdirinya Gapura Arya Penangsang, ditujukan untuk Arya Penangsang (pada saat itu kalah melawan Jaka Tingkir), yang didirikan oleh Sunan Kudus.
Tujuan didirikannya Gapura tersebut adalah sebagai upaya untuk menangkal para musuh, sehingga musuh yang melewati Gapura, kesaktiannya akan lenyap.
Lalu berpedoman sesuai dengan cerita diatas yang selama ini berkembang, maka masyarakat meyakini bahwa bangunan ini merupakan momok bagi para pejabat yang melewatinya. []

Kudus Kota Wisata

img_6996.jpg
“Kota Kudus, terletak di bagian utara propinsi Jawa tengah, di lereng Gunung Muria, sekitar 50 km dari Semarang, ibukota Jawa tengah. Kabupaten Kudus termasuk kabupaten kecil dari segi luasnya, tetapi cukup ramai, dengan didukung adanya beberapa industri, terutama industri rokok kretek, sehingga Kudus juga biasa disebut Kota Kretek.
Selain itu juga ada industri kertas, textil, dan elektronika. Kudus juga merupakan kota perdagangan bagi daerah sekitarnya (karesidenan Pati) dengan adanya pasar yang cukup besar (pasar kliwon) dan 2 buah mal. Kudus, didirikan oleh Sunan Kudus (Ja’far Shodiq) pada abad ke-15 M. Nama Kudus berasal dari bahasa Arab “Quds” yang artinya kesucian, yang konon ceritanya penamaan ini setelah Sunan Kudus pulang dari kota Al-Quds, Palestina. Selain itu juga menamakan masjidnya dengan nama Masjidil Aqsha, seperti nama masjid di Palestina yang menjadi singgahan Nabi Muhammad waktu peristiwa Isra’ Mi’raj. Masyarakat Kudus lebih familiar menyebut Masjidil Aqsha tersebut dengan nama Masjid Menara Kudus, karena di masjid ini terdapat sebuah menara (berfungsi untuk tempat adzan dan menabuh bedug/kenthongan) yang sangat unik, yang berbentuk candi Hindu. Analisis para sejarawan, pembangunan Menara Kudus ini merupakan metoda dakwah Sunan Kudus kepada masyarakat Kudus waktu itu yang banyak beragama Hindu untuk mau datang ke masjid.
Ada kebiasaan unik lagi di Kudus, yaitu masyarakat kudus tidak berani menyembelih sapi, tetapi yang ada adalah menyembelih kerbau sebagai gantinya. Hal ini berasal dari larangan Sunan Kudus untuk tidak menyembelih sapi (binatang yang dihormati warga Hindu di Kudus waktu itu), sehingga di Kudus kebanyakan daging yang dimakan adalah daging kerbau, ada soto kerbau, sate kerbau dan segala lauk yang menggunakan daging adalah daging kerbau. Dalam penyembelihan Qurban juga menyembelih hewan kerbau tidak sapi. Jika ada daging sapi, itu paling berasal dari kota kota sekitarnya, misalnya Pati, Jepara atau Semarang.

Alun-alun Simpang Tujuh
Setelah direnovasi tahun lalu, alun-alun Kudus terlihat lebih bersih dan cantik. Alun-alun (lapangan ditengah-tengah kota) di Kudus, seperti juga kota-kota di pantura Jawa, merupakan pusat kota yang di sekelilingnya terdapat Masjid Agung, kantor Bupati dan pusat perdagangan. Di Kudus, alun-alun ini merupakan pertemuan 7 jalan utama, sehingga biasa disebut juga Simpang Tujuh.

Masjid Menara Kudus
Masjid Menara ini merupakan artefak peninggalan sejarah berarsitektur tinggi, yang menjadi bukti proses penyebaran Islam di Jawa dengan cara damai. Menara dan ornamen lainnya yang berbentuk candi terbuat dari batu bata merah ini merupakan perpaduan kebudayaan Islam dan kebudayaan Hindu. Berdasar batu tulis yang terdapat di pengimaman masjid, menunjukkan masjid ini didirikan pada th 956 H. Konon, batu tulis ini adalah oleh-oleh Sunan Kudus sepulang dari Al-Quds, Palestina. Selain masjid dan menara, di dalam komplek masjid ini terdapat makam Sunan Kudus dan beberapa makam Bupati dan pejabat Kudus. Setiap hari banyak yang berziarah ke makam ini, apalagi kalau bulan Muharram (Syuro) jumlah peziarah mencapai puncaknya, karena ada acara Buka Luwur, yaitu acara penggantian kelambu penutup makam Sunan Kudus.

Museum Kretek
Sebutan Kudus sebagai Kota Kretek, diperkuat adanya Museum Kretek, yang merupakan museum rokok satu satunya di Indonesia saat ini. Di sana Anda bisa menemukan bagaimana proses pembuatan rokok hingga tokoh-tokoh yang berperan besar dalam memajukan bisnis rokok di Indonesia. Interior museum dipenuhi patung-patung yang memperagakan pembuatan rokok secara manual (nglinting) dan berbagai macam bahan dan perlengkapan pembuatan rokok. Di sini juga dapat disaksikan foto-foto saudagar dan industriawan rokok di Kudus.[]

Beburu Berkah Air "Sumur Tolak"

Secara fisik, terlihat tidak ada yang membedakan sumur itu dengan sumur –sumur lainnya. Kecuali bangunan sederhana dengan ukuran sekitar 2 x 3 meter yang dibuat secara khusus sebagai pelindung. Namun mengapa sore itu, Rabu (22/1/2008) banyak warga berduyun-duyun membawa jerigen, teko dan botol aqua dengan ukuran besar, yang dipergunakan untuk mengambil air di sana?
Sumur tolak. Demikian sumur itu dikenal oleh masyarakat setempat, sumur ini terletak di Krapyak, Kerjasan, Kudus. Konon, sumur ini adalah peninggalan Syaikh Abdurrahman, salah seorang murid kinasih (kesayangan) kanjeng Sunan Kudus, yang kini makamnya berada di Dukuh Blender, Desa Peganjaran, juga mempunyai nama lain Joyowiryo.
Asal muasal sumur yang berlokasi sekitar 2 kilometer arah utara Menara Kudus, ini adalah dari bekas tombak Syaikh Abdurrahman. Menurut empunya cerita, dulu kerajaan Majapahit Hindu terusik dengan majunya kerajaan Islam Demak. Sehingga diadakanlah penyerangan lewat arah utara yaitu melewati Kudus.
Namun sesampai di utara Menara Kudus, yaitu sebelum sumur tolak, para prajurit kerajaan Majapahit kelelahan dan kehausan. Melihat musuh yang akan menyerangnya kelelahan dan kehausan, Syaikh Abdurrahman pun kasihan dan membantunya dengan memberi air minum sebagai "Tombo Ngelak" (TOLAK) atau "pelepas dahaga".
Warga sekitar sumur tolak percaya, sumur peninggalan Syaikh Abdurrahman itu memiliki karomah dari Allah Swt. Sehingga setahun sekali, pada pertengahan bulan Suro (Muharram), mereka berduyun-duyun mengambil air di sumur tersebut.
Namun sebelum airnya diambil, terlebih dahulu diadakan ritual pada hari-hari sebelumnya, yaitu dengan membaca kalam-kalam Ilahi, berdzikir dan berdo'a kepada Allah.
[jurnalkudus]