Karena itulah, bila mengunjungi kota ini, ada bagusnya kita datang sebentar ke Museum Kretek yang dibangun pada 1985. Di museum yang berlokasi di Desa Getaspejaten, Jati, Kudus, ini, kita akan mendapatkan gambaran sejarah dan seluk-beluk industri rokok di Kudus.
Tengok ruangan museum yang ada. Beragam gambaran promosi yang dilakukan industri rokok supaya laku, bisa kita lihat di ruang ini. Di dindingnya berjajar foto-foto promosi kretek, mulai dari dulu hingga kini. Promosi yang tak setengah hati.
Ada foto-foto promosi yang dilakukan oleh raja rokok kretek, Niti Semito, dengan rokok Bal Tiga-nya. Ternyata Niti Semito sudah membuka stan dalam acara sekatenan di Solo pada 1917. Ia juga memberikan hadiah sebuah mobil sedan keluaran terbaru pada saat itu. Bahkan sandiwara keliling pun dia gelar untuk mempromosikan rokoknya.
Beragam suvenir promosi juga menghiasi ruang museum yang berukuran 1.500 meter persegi ini. Dulu, pabrik rokok seperti Bal Tiga, Jangkar, NV Trio, dan Delima, lebih banyak memberikan hadiah dalam bentuk barang pecah belah. Ada pula yang memberikan miniatur rumah joglo, gerobak, dan dokar kerangkeng.
Selain pernak-pernik promosi, di museum ini terdapat alat-alat yang dibutuhkan dalam proses produksi, seperti alat giling cengkeh, alat giling tembakau, alat penyaring cengkeh, dan perajang tembakau. "Semua alat ini buatan Belanda tahun 1917," tutur Nawanto, Kepala Museum Kretek Kudus, saat ditemui beberapa hari silam. Ada pula gerobak pengangkut rokok yang ditarik oleh kuda, alat pelinting rokok klobot, dan alat pelinting rokok sigaret kretek tangan.
Di ruangan yang dipenuhi beragam peralatan ini juga dijajarkan 11 foto besar para perintis rokok, mulai dari Niti Semito (Bal Tiga), M. Atmo Wijoyo (Gunung Kedu), M. Muslih (Tebu & Cengkih), Tjoa Khong Hay (Trio), M. Ashadi (Delimo), H. Ali Asikin (Jangkar), M. Sirin (Garbis), M. Ma'ruf (Jambu Bol), Koo Djee Siang (Nojorono), Oei Wie Gwan (Djarum), dan Mc. Wartono (Sukun). Begitu juga foto-foto pabrik rokok besar pada masa itu. Ada pula jajaran 350 merek rokok, mulai dari buatan 1917 hingga 1980-an, yang ditempatkan dalam ruang kaca berukuran 4 x 4 meter.
Untuk memberikan gambaran tentang proses pembuatan, museum ini juga dilengkapi dengan diorama yang berukuran 5 x 6 meter. Diorama itu "menceritakan" proses pembuatan rokok, misalnya rokok klobot (daun jagung), rokok sigaret kretek tangan dengan pembungkus kertas papier, dan rokok sigaret mesin.
Nawanto mengaku koleksi museum ini masih kurang memadai. "Kami berharap ada pihak yang bersedia menyumbangkan benda-benda yang berkaitan dengan proses rokok untuk menambah isi museum," ujarnya.
Museum Kretek ini dibangun oleh para pengusaha rokok yang tergabung dalam Persatuan Pengusaha Rokok Kudus. Pembangunannya digagas oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu, Supardjo Rustam, pada 1980. Lokasinya dipilih di areal tanah bondo deso seluas 2,5 hektare di Desa Getaspejaten.
Di lokasi museum ini juga ada bangunan rumah adat Kudus yang berbahan kayu jati dengan ukuran 8 x 10 meter. Rumah itu dibuat pada abad ke-17.
Sejak berdiri, Museum Kretek dikelola oleh Persatuan Pengusaha Rokok Kudus. Baru dua tahun terakhir ini pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Kudus, setelah kondisinya kurang terawat dan sebagian bangunannya rusak. Dana bagi hasil cukai tembakau yang digelontorkan ke Kudus digunakan untuk mengelola museum ini, sebagian dana lainnya untuk mempercantik museum. "Ini untuk mendekatkan masyarakat dengan museum dan cinta kepada museum," tutur Nawanto.
Pengunjung museum pun berangsur-angsur ramai. Kalau dua tahun silam jumlah pengunjungnya dalam setiap bulan bisa dihitung dengan jari tangan, belakangan ini jumlahnya sudah naik drastis, menjadi 200-300 orang per bulan.
Seorang pengunjung dari Tanjung Karang, Lampung, mendukung pengelolaan museum ini. "Museum ini harus tetap dilestarikan karena menyangkut sejarah kebudayaan Kudus."
Kejayaan Telah Memudar
Rokok kretek, menurut naskah Pranacitra, seperti dikutip oleh Ong Hok Ham dan Amen Budiman dalam buku Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, sudah ada sejak abad ke-17 dan menjadi barang dagangan masyarakat Jawa. Di Kudus, awalnya Rokok kretek diperkenalkan oleh pengusaha lokal, Jamahri, sekitar 1870-1880.
Jamahri, yang waktu itu menderita sakit dada akut, mengupayakan beragam pengobatan. Tapi upayanya itu tidak membuahkan hasil. Ia pun mencoba mengoleskan minyak cengkeh ke dada dan punggungnya. Ternyata sakitnya mereda. Selanjutnya, Jamahri mulai mengunyah cengkeh dan kondisi badannya pun semakin membaik.
Ringkas cerita, Jamahri lalu merajang halus cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau. Racikan tersebut dibungkus dengan daun jagung, selanjutnya bagian ujungnya disulut api, kemudian diisap. Rokok Jamahri pun kemudian menjadi klangenan banyak orang. Akhirnya Jamahri mendirikan pabrik rokok.
Keberhasilannya itu ditiru banyak orang, dan Kudus pun dikenal sebagai Kota Kretek. Keberhasilan pengusaha "pribumi" itu kemudian diikuti oleh para pengusaha Tionghoa. Di antara dua kalangan pengusaha tersebut kemudian terjadi persaingan hebat. Pada 1918, persaingan itu mencapai puncaknya, dan meletuslah gerakan anti-Cina pada Oktober 1918. Ratusan perusahaan gulung tikar.Yang kini masih berjaya hanya sekitar 15 pabrik. Di antaranya adalah Djarum, Nojorono, dan Sukun. [tempo]
Tengok ruangan museum yang ada. Beragam gambaran promosi yang dilakukan industri rokok supaya laku, bisa kita lihat di ruang ini. Di dindingnya berjajar foto-foto promosi kretek, mulai dari dulu hingga kini. Promosi yang tak setengah hati.
Ada foto-foto promosi yang dilakukan oleh raja rokok kretek, Niti Semito, dengan rokok Bal Tiga-nya. Ternyata Niti Semito sudah membuka stan dalam acara sekatenan di Solo pada 1917. Ia juga memberikan hadiah sebuah mobil sedan keluaran terbaru pada saat itu. Bahkan sandiwara keliling pun dia gelar untuk mempromosikan rokoknya.
Beragam suvenir promosi juga menghiasi ruang museum yang berukuran 1.500 meter persegi ini. Dulu, pabrik rokok seperti Bal Tiga, Jangkar, NV Trio, dan Delima, lebih banyak memberikan hadiah dalam bentuk barang pecah belah. Ada pula yang memberikan miniatur rumah joglo, gerobak, dan dokar kerangkeng.
Selain pernak-pernik promosi, di museum ini terdapat alat-alat yang dibutuhkan dalam proses produksi, seperti alat giling cengkeh, alat giling tembakau, alat penyaring cengkeh, dan perajang tembakau. "Semua alat ini buatan Belanda tahun 1917," tutur Nawanto, Kepala Museum Kretek Kudus, saat ditemui beberapa hari silam. Ada pula gerobak pengangkut rokok yang ditarik oleh kuda, alat pelinting rokok klobot, dan alat pelinting rokok sigaret kretek tangan.
Di ruangan yang dipenuhi beragam peralatan ini juga dijajarkan 11 foto besar para perintis rokok, mulai dari Niti Semito (Bal Tiga), M. Atmo Wijoyo (Gunung Kedu), M. Muslih (Tebu & Cengkih), Tjoa Khong Hay (Trio), M. Ashadi (Delimo), H. Ali Asikin (Jangkar), M. Sirin (Garbis), M. Ma'ruf (Jambu Bol), Koo Djee Siang (Nojorono), Oei Wie Gwan (Djarum), dan Mc. Wartono (Sukun). Begitu juga foto-foto pabrik rokok besar pada masa itu. Ada pula jajaran 350 merek rokok, mulai dari buatan 1917 hingga 1980-an, yang ditempatkan dalam ruang kaca berukuran 4 x 4 meter.
Untuk memberikan gambaran tentang proses pembuatan, museum ini juga dilengkapi dengan diorama yang berukuran 5 x 6 meter. Diorama itu "menceritakan" proses pembuatan rokok, misalnya rokok klobot (daun jagung), rokok sigaret kretek tangan dengan pembungkus kertas papier, dan rokok sigaret mesin.
Nawanto mengaku koleksi museum ini masih kurang memadai. "Kami berharap ada pihak yang bersedia menyumbangkan benda-benda yang berkaitan dengan proses rokok untuk menambah isi museum," ujarnya.
Museum Kretek ini dibangun oleh para pengusaha rokok yang tergabung dalam Persatuan Pengusaha Rokok Kudus. Pembangunannya digagas oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu, Supardjo Rustam, pada 1980. Lokasinya dipilih di areal tanah bondo deso seluas 2,5 hektare di Desa Getaspejaten.
Di lokasi museum ini juga ada bangunan rumah adat Kudus yang berbahan kayu jati dengan ukuran 8 x 10 meter. Rumah itu dibuat pada abad ke-17.
Sejak berdiri, Museum Kretek dikelola oleh Persatuan Pengusaha Rokok Kudus. Baru dua tahun terakhir ini pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Kudus, setelah kondisinya kurang terawat dan sebagian bangunannya rusak. Dana bagi hasil cukai tembakau yang digelontorkan ke Kudus digunakan untuk mengelola museum ini, sebagian dana lainnya untuk mempercantik museum. "Ini untuk mendekatkan masyarakat dengan museum dan cinta kepada museum," tutur Nawanto.
Pengunjung museum pun berangsur-angsur ramai. Kalau dua tahun silam jumlah pengunjungnya dalam setiap bulan bisa dihitung dengan jari tangan, belakangan ini jumlahnya sudah naik drastis, menjadi 200-300 orang per bulan.
Seorang pengunjung dari Tanjung Karang, Lampung, mendukung pengelolaan museum ini. "Museum ini harus tetap dilestarikan karena menyangkut sejarah kebudayaan Kudus."
Kejayaan Telah Memudar
Rokok kretek, menurut naskah Pranacitra, seperti dikutip oleh Ong Hok Ham dan Amen Budiman dalam buku Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, sudah ada sejak abad ke-17 dan menjadi barang dagangan masyarakat Jawa. Di Kudus, awalnya Rokok kretek diperkenalkan oleh pengusaha lokal, Jamahri, sekitar 1870-1880.
Jamahri, yang waktu itu menderita sakit dada akut, mengupayakan beragam pengobatan. Tapi upayanya itu tidak membuahkan hasil. Ia pun mencoba mengoleskan minyak cengkeh ke dada dan punggungnya. Ternyata sakitnya mereda. Selanjutnya, Jamahri mulai mengunyah cengkeh dan kondisi badannya pun semakin membaik.
Ringkas cerita, Jamahri lalu merajang halus cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau. Racikan tersebut dibungkus dengan daun jagung, selanjutnya bagian ujungnya disulut api, kemudian diisap. Rokok Jamahri pun kemudian menjadi klangenan banyak orang. Akhirnya Jamahri mendirikan pabrik rokok.
Keberhasilannya itu ditiru banyak orang, dan Kudus pun dikenal sebagai Kota Kretek. Keberhasilan pengusaha "pribumi" itu kemudian diikuti oleh para pengusaha Tionghoa. Di antara dua kalangan pengusaha tersebut kemudian terjadi persaingan hebat. Pada 1918, persaingan itu mencapai puncaknya, dan meletuslah gerakan anti-Cina pada Oktober 1918. Ratusan perusahaan gulung tikar.Yang kini masih berjaya hanya sekitar 15 pabrik. Di antaranya adalah Djarum, Nojorono, dan Sukun. [tempo]