Diceritakan bahwa Sunan Muria mempunyai banyak murid, yang bukan hanya belajar ilmu agama, melainkan juga berkesenian dan olah kanuragan. Murid-muridnya datang ke Colo (di lereng Gunung Muria) dari berbagai tempat seperti Tayu, Pati, Jepara, Juana, dan Pandanaran (yang kini disebut Semarang). Di antara muridnya adalah Raden Bagus Rinangku dari Pandanaran.
Syahdan, karena sang pemuda tampan dan sakti, putrinya yang bernama Raden Ayu Nawangsih jatuh hati dengan pemuda tersebut, begitu juga dengan Raden Bagus Rinangku. Namun Sunan Muria ternyata tidak merestui hubungan keduanya, karena ia telah memilih Kyai Cebolek sebagai calon menantu yang akan dijodohkan dengan puterinya tersebut.
Untuk memisahkan keduanya, maka Sunan Muria menugaskan Raden Bagus Rinangku untuk menumpas para perusuh yang merampok dan membunuh di sekitar daerah Muria. Tapi ternyata pemuda Pandanaran ini bukan hanya berhasil membasminya, melainkan juga membuat salah seorang di antaranya bertaubat dan memperdalam ilmu agama. Kelak mantan perampok ini terkenal sebagai Kiai Masyhudi.
Kemudian Sunan Muria segera memberi tugas lain, yakni agar Raden Bagus Rinangku menjaga sawah yang padinya sedang menguning di daerah Masin (yang letaknya dari Muria) dengan begitu ia berharap hubungan cinta kasih dengan puterinya, Raden Ayu Nawangsih, akan terputus. Raden Bagus Rinangku pun melaksanakan titah sang guru tanpa ada prasangka macam-macam.
Suatu hari, Sunan Muria mengecek tugas yang diberikan pada muridnya tersebut. Alangkah kagetnya beliau, ketika melihat burung-burung didiamkan saja oleh Bagus Rinangku memakan dan merusak padi, sehingga sawah tersebut menjadi amburadul. Sunan Muria juga terkejut melihat puterinya, Raden Ayu Nawangsih, sudah berada di situ berduaan dengan Raden Bagus Rinangku. Maka Sunan Muria menanyakan hal ihwalnya kepada Raden Bagus Rinangku, dan Bagus Rinangku menjawab bahwa yang ia pahami dengan “menjaga burung” ya menjaga supaya burung-burung bisa berpesta memakan padi. Untuk menebus kesalahannya, maka dengan ilmu (kesaktian) yang dimilikinya Bagus Rinangku pun mengembalikan sawah dan padi yang hancur tersebut seperti keadaan semula.
Tindakan Bagus Rinangku ini membuat sang guru murka, karena ia merasa telah dilecehkan oleh muridnya tersebut. Sunan Muria mengeluarkan panah dan mengancam Bagus Rinangku (dengan maksud menakut-nakuti), tetapi di luar dugaan panah tersebut melesat dari busurnya dan menembus dada pemuda itu sampai ke punggungnya.
Raden Bagus Rinangku pun jatuh tersungkur meregang nyawa. Melihat pujaan hatinya dalam keadaan sekarat, Raden Ayu Nawangsih lalu menubruk dan memeluk tubuh kekasihnya, sehingga ujung panah yang telah menembus punggung itu menembus pula perutnya. Sepasang kekasih itupun tewas bersama di hadapan Sunan Muria menjemput takdir Tuhannya.
Bagus Rinangku dan Ayu Nawangsih lantas dimakamkan di puncak bukit dengan iringan airmata penduduk. Selesai pemakaman, masih banyak penduduk yang meratapi dan menangis sedu-sedan atas kepergian sepasang kekasih tersebut. Melihat keadaan tersebut, Sunan Muria pun berbicara kepada mereka semua, “Kalian semua tidak beranjak, tidak bergerak seperti pohon jati.” Orang-orang yang masih tersedu-sedan itu pun berubah menjadi pohon jati, yang kini merupakan hutan jati di Masin (sekarang masuk desa Kandangmas, Kec. Dawe, Kudus).
Kisah ini adalah legenda yang ada di kalangan penduduk sekitar Muria. Riwayat semacam ini tentu tidak mencerminkan karakter Sunan Muria yang terkenal sebagai seorang alim ulama yang bijaksana. Wallahu a’lam bish-shawab.
Minggu, 25 April 2010
Langganan:
Postingan (Atom)