Rabu, 24 Mei 2017

Peganjaran Kembangkan Masyarakat Berjiwa Wirausaha

Peganjaran adalah salah satu desa bagian dari Kecamatan Bae, terdiri dari enam dukuh yaitu Blender, Gambiran, Jatisari, Delingo, Gedangsewu, dan Jatisari Tempel. Terbagi menjadi 5 RW, yaitu: RW I: Dk. Delingo, RW II: Dk. Jatisari, RW III: Dk. Blender dan Gambiran, RW IV: Dk. Gedangsewu. RW V: Jatisari Tempel

Di sebelah utara berbatasan dengan desa Karangmalang (Gebog), sebelah barat dengan desa Gribig (Gebog), sebelah selatan dengan desa Bakalan Krapyak (Kaliwungu), dan sebelah timur dengan desa Panjang (Bae) dan Singocandi (Kota).

Letaknya memang tidak jauh dari pusat Kota Kudus, sehingga hal itupun mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir masyarakat Desa Peganjaran. Kepala Desa Peganjaran Munaji mengatakan, kondisi masyarakat di sini termasuk masyarakat pinggiran. Karena dikatakan desa juga berada di dekat kota (termasuk masyarakat marginal) atau magersari.

”Masyarakat telah berpola pikir kota, meski tinggal di lingkup desa. Kebanyakan masyarakat sudah mandiri, tidak banyak menggantungkan. Tapi jika ada program pembangunan desa, juga tidak sulit untuk menggerakkan,” jelasnya.

Munaji yang mulai menjabat sejak 16 Desember 2013 itu menjelaskan, sejak memimpin, ia mulai menggerakkan kegiatan RW dan RT yang telah lama lesu. Misalnya menggalakkan lagi kegiatan kerja bakti, perbaikan jalan, serta saluran air. Masyarakat juga sangat membantu, baik dalam bentuk tenaga maupun material.

Bentuk kemandirian masyarakat terwujud dalam kegiatan RT. Misalnya tiap RT dan RW mengadakan jimpitan sukarela. Ada yang setiap hari, maupun mingguan. Dari uang iuran itu, akhirnya mereka punya kas sendiri. Kas itu dialokasikan untuk membeli kursi, tratak, sound system. Karena barang-barang itulah pasti dibutuhkan warga. Untuk warga bisa pinjam gratis, hanya membayar tenaga dan transportasi angkut saja.

Munaji yang lahir dan besar di Peganjaran mengungkapkan, keunggulan atau potensi dari Desa Peganjaran belum bisa dipastikan. Tapi sejauh ini yang sudah berjalan adalah UMKM tas, dan dari perkebunannya adalah mangga. Tas lah yang saat ini sebagai home industry yang berkembang pesat. Meski belum menjadi sentra seperti Desa Loram, tapi melihat pertumbuhannya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Terlihat dari tumbuhnya beberapa pengusaha baru serta diikuti pertambahan jumlah tenaga kerja.

”Saat ini tercatat sudah ada empat RW yang mengelola home industry tas, tiap RW terdapat 30 usaha. Biasanya pesanan melonjak pada saat tahun ajaran baru. Karena memenuhi permintaan untuk keperluan sekolah,” katanya.

Ia mengatakan, kendala yang ditemui UMKM adalah pada saat melonjaknya permintaan akan tas. Dari pihak pengusaha sering mengeluhkan kekurangan modal, untuk belanja bahan baku dan mencari pekerja. Untuk mengatasi kendala tersebut, pihak pemerintah desa (Pemdes) pun berupaya membantu dengan cara memfasilitasi kegiatan pelatihan pembuatan tas sekolah, kerja, dan lainnya. Serta memudahkan memberikan surat keterangan bagi para pengusaha yang ingin mengajukan pinjaman pada bank.

”Sebenarnya terdapat beberapa UMKM yang berjalan di Desa Peganjaran, tapi kondisinya nampak lesu. Misalnya konveksi, bordir, dan jajanan rengginang. Yang masih bertahan dan menunjukkan kesuksesannya ya usaha tas dan mangga. Untuk mangga sudah bisa memenuhi pesanan hingga luar desa bahkan kabupaten,” terangnya.

Mangga yang menjadi andalan Peganjaran adalah jenis gadung dan arum manis. Selain para warga menanam sendiri, para pengusaha juga bertindak sebagai pengepul mangga dari beberapa dukuh di sini dan sekitar Kudus. Di Peganjaran ada 4 pengusaha mangga, yang sudah besar.

Desa yang memiliki 1183 Kepala Keluarga ini, memang kondisi jumlah petani tidak sebanyak para pelaku home industry. Karena memang di Desa Peganjaran, profesi petani tidak dijadikan warganya sebagai penghasilan utama.

”Bertani hanya menjadi sambilan, di sela-sela mereka membuka usaha atau menjadi buruh lepas. Saat ini terhitung ada sekitar 40 petani saja yang aktif,” imbuhnya.

Sumber: Murianews.com

Pemuda Getassrabi Bentuk Komunitas Kartun

Sejumlah pemuda di Desa Getassrabi, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, menginisiasi pembentukan sebuah komunitas kreatif, Sabtu (11/3/2017). Mereka menyebut diri sebagai komunitas Kartunis Srabilor.

Nama Srabilor diambil untuk mengabadikan tempat kelahiran, yaitu Dukuh Srabi Lor. Pembentukan komunitas tersebut dilaksanakan sesaat setelah kegiatan “Ngartun Bareng Arif Srabilor” di Pondok Al Manshur.

Pelatihan kartun yang digagas pemuda desa itu menghadirkan kartunis muda dari Semarang Cartoon Club (SECAC), Abdul Arif. Arif yang juga putra kelahiran Desa Getassrabi ikut membidani kelahiran komunitas.

“Banyak peluang yang bisa diambil dari kesenian kartun. Bahkan event pameran dan lomba tingkat nasional maupun internasional selalu terbuka tiap bulan,” kata Arif seperti dalam rilis yang diterima MuriaNewsCom.

Arif melihat, anak muda di desanya memiliki potensi yang sangat besar. Sejauh ini, kata dia, kegiatan yang menampung kreativitas anak-anak muda masih minim.

“Jujur saja, banyak waktu luang remaja yang terlewat sia-sia. Sejumlah anak bahkan putus sekolah dan memilih bekerja. Semoga dengan adanya komunitas ini kreativitas mereka bisa diwadahi,” imbuh alumnus Pendidikan Matematika UIN Walisongo itu.

Arif dan rekan-rekannya memilih kesenian kartun karena lebih mudah dipelajari. Kartun, kata dia, sudah familiar di kalangan remaja. Dengan demikian tidak sulit mengajak para remaja untuk bergabung.

Selain itu, lanjut Arif, kesenian kartun juga memiliki nilai ekonomis. Seni kartun bisa diaplikasikan dalam berbagai media. Misalnya kaus lukis dan suvenir lainnya. Karya kartun juga bisa dijual ke media massa nasional maupun internasional.

Arif berharap, kegiatan ngartun bisa menjadi alternatif bagi remaja di desanya untuk menghasilkan uang. Dia menyadari, mayoritas warga di kampungnya adalah buruh pabrik rokok dan pekerja bangunan dengan penghasilan pas-pasan. Bahkan tak sedikit anak yang putus sekolah.”Ke depan kami berharap bisa membuat banyak kegiatan untuk anak-anak muda. Seperti kegiatan literasi dan lain sebagainya,” katanya.

Koordinator pelatihan Fatkhur Rochim mengatakan, setelah komunitas tersebut pihaknya akan mengadendakan sejumlah kegiatan. Di antaranya kegiatan rutin ngartun bareng dan aktif mengikuti pameran dan kontes internasional.”Kami juga mengagendakan safari kartun ke Kota Semarang, menyambangi SECAC untuk mengenal lebih dekat tentang kartun,” katanya.

Sumber: Murianews/Kholistiono

Grebeg Apeman di Makam Mbah Gareng Undaan

Beberapa gunungan yang di antaranya berisi apem, terlihat dipikul beberapa orang untuk diarak menuju makam Syeh Abdullah Gareng. Tampak juga gunungan lain berisi buah-buahan, sayuran dan hasil pertanian juga dibawa dalam kegiatan Grebek Apeman Desa Undaan Lor, Kecamatan Undaan, Kudus.

Setelah berada di depan makam Syeh Abdullah Gareng, kesembilan gunungan tersebut ditempatkan di halaman makam untuk didoakan. Terlihat ratusan warga sudah berkumpul di area setempat. Saat doa yang dipimpin Datuk KH Moch Sokram belum usai, masyarakat yang berada di lokasi segera berebut isi gunungan. Tidak hanya masyarakat dewasa, puluhan anak-anak pun telihat ikut berjibaku mendapatkan apem dan isi gunungan lainnya.

Satu di antara masyarakat yang ikut berebut gunungan, yakni Nafisah (25). Dia tampak semringah setelah mendapatkan 12 apem dan beberapa ikat padi. Dengan menggendong anak laki-lakinya, kepada Seputarkudus.com dia mengaku ikut berebut apem karena anaknya yang meminta. Menurutnya, beberapa hari sebelum pelaksanaan Grebek Apeman, Fadil Murtadho (5), anak Nafisah, rewel ingin ikut kegiatan.
“Fadil yang ingin ngajak terus. Dia ingin cari jajan,” tuturnya sambil membawa ikat padi dan apem yang masih terbungkus plastik, Minggu (21/5/2017).

Menurutnya, empat kali pelaksanaan kegiatan Gerebek Apeman, dirinya selalu tidak ketinggalan. Apem yang didapatnya, akan dikonsumsi. Sedangkan beberapa ikat padi akan ditanamnya di lahan sawah miliknya. “Semoga mendapatkan berkah,” tambahnya.

Panitia Grebek Apeman Muhammad Rois (35) mengungkapkan, kegiatan tahunan Grebek Apeman dilaksanakan sejak tahun 2014. Menurutnya, sebelum bernama Grebek Apeman dulunya bernama Kirab Apeman. “Kegiatan ini sudah dilakukan empat kali. Dan hari ini namanya dirubah menjadi Grebek Apeman,” ungkapnya.

Kegiatan tahunan yang dilaksanakan di setiap bulan Ruwah menurutnya diikuti masyarakat Desa Undaan Lor, Kecamatan Undaan dan masyarakat sekitar. Terdapat sembilan gunungan di mana tiga di antaranya berisi apem yang dihias. Selebihnya berisi buah-buahan, sayur dan hasil pertanian yang ada di Undaan Lor. “Gunungannya juga ada yang berisi jajanan pasar dan ingkung (ayam),” jelasnya.

Menurutnya, apem yang disusun menjadi tiga gunungan yakni sejumlah 3.000 lebih. Dia menjelaskan, setiap gang di Desa Undaan Lor diberi tanggung jawab untuk membuat apem 100 buah. “Jumlah gang ada 32, setiap kampungnya (gang) diberi jatah membuat 100 buah apem,” tambahnya.

Menurutnya, gunungan berisi apem diarak dari Gang 3 Masjid Baitussalam melewati Balai Desa Undaan Lor. Setelah itu menuju Masjid Jami’ Baitul Mu’minin di Gang 24. Rois mengungkapkan, para peserta kirab juga mengunjungi makam Kiai Idris dan Kiai Zuhri Ma’no yang makamnya satu lokasi dengan Masjid Jami’ Baitul Mu’minin. “Setelah itu kirab berakhir di makam Syeh Abdullah atau Mbah Gareng,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Desa Undaan Lor Edy Pranoto menuturkan, tradisi apeman sudah ada sejak zaman dulu yang dilakukan umat Islam. Menurutnya kegiatan tersebut dilakukan di bulan Ruwah menjelang bulan Ramadan. “Selain untuk melestarikan budaya, juga untuk mempersatukan seluruh masyarakat di Desa Undaan Lor,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, menjelang bulan Ramadan, tradisi masyarakat Desa Undaan Lor dari zaman dahulu memang sudah membuat apem. Namun adanya apem tersebut tidak dibuat kirab melainkan hanya acara doa biasa. Saat menjabat sebagai kepala desa, dirinya inisiatif membuat sebuah kegiatan kirab.
“Kata Apem berasal dari kata afuan atau afuwwu yang berarti ampunan. Oleh lidah orang Jawa menjadi Apem, ” jelasnya.

Sumber: Imam arwindra/seputarkudus.com

Minggu, 01 September 2013

Mengenal Sejarah Rokok Kudus di Museum Kretek

Kudus dikenal sebagai Kota Kretek. Museum rokok telah dibangun. Tapi kembali ramai baru beberapa tahun ini. Kudus memang identik dengan rokok. Tentu saja selain dengan jenangnya. Di kabupaten ini, tercatat ada lebih dari 100 pabrik rokok memproduksi berbagai jenis rokok, mulai dari rokok klobot, kretek tangan, rokok mesin (filter), hingga cerutu. Beragam pabrik besar, kecil, hingga industri rumahan tersebar di berbagai penjuru kota. Bahkan dari pembagian hasil cukai pun, Kudus mendapatkan duit yang jumlahnya besar, Rp 70,8 miliar pada tahun ini.
Karena itulah, bila mengunjungi kota ini, ada bagusnya kita datang sebentar ke Museum Kretek yang dibangun pada 1985. Di museum yang berlokasi di Desa Getaspejaten, Jati, Kudus, ini, kita akan mendapatkan gambaran sejarah dan seluk-beluk industri rokok di Kudus.
Tengok ruangan museum yang ada. Beragam gambaran promosi yang dilakukan industri rokok supaya laku, bisa kita lihat di ruang ini. Di dindingnya berjajar foto-foto promosi kretek, mulai dari dulu hingga kini. Promosi yang tak setengah hati.
Ada foto-foto promosi yang dilakukan oleh raja rokok kretek, Niti Semito, dengan rokok Bal Tiga-nya. Ternyata Niti Semito sudah membuka stan dalam acara sekatenan di Solo pada 1917. Ia juga memberikan hadiah sebuah mobil sedan keluaran terbaru pada saat itu. Bahkan sandiwara keliling pun dia gelar untuk mempromosikan rokoknya.
Beragam suvenir promosi juga menghiasi ruang museum yang berukuran 1.500 meter persegi ini. Dulu, pabrik rokok seperti Bal Tiga, Jangkar, NV Trio, dan Delima, lebih banyak memberikan hadiah dalam bentuk barang pecah belah. Ada pula yang memberikan miniatur rumah joglo, gerobak, dan dokar kerangkeng.
Selain pernak-pernik promosi, di museum ini terdapat alat-alat yang dibutuhkan dalam proses produksi, seperti alat giling cengkeh, alat giling tembakau, alat penyaring cengkeh, dan perajang tembakau. "Semua alat ini buatan Belanda tahun 1917," tutur Nawanto, Kepala Museum Kretek Kudus, saat ditemui beberapa hari silam. Ada pula gerobak pengangkut rokok yang ditarik oleh kuda, alat pelinting rokok klobot, dan alat pelinting rokok sigaret kretek tangan.
Di ruangan yang dipenuhi beragam peralatan ini juga dijajarkan 11 foto besar para perintis rokok, mulai dari Niti Semito (Bal Tiga), M. Atmo Wijoyo (Gunung Kedu), M. Muslih (Tebu & Cengkih), Tjoa Khong Hay (Trio), M. Ashadi (Delimo), H. Ali Asikin (Jangkar), M. Sirin (Garbis), M. Ma'ruf (Jambu Bol), Koo Djee Siang (Nojorono), Oei Wie Gwan (Djarum), dan Mc. Wartono (Sukun). Begitu juga foto-foto pabrik rokok besar pada masa itu. Ada pula jajaran 350 merek rokok, mulai dari buatan 1917 hingga 1980-an, yang ditempatkan dalam ruang kaca berukuran 4 x 4 meter.
Untuk memberikan gambaran tentang proses pembuatan, museum ini juga dilengkapi dengan diorama yang berukuran 5 x 6 meter. Diorama itu "menceritakan" proses pembuatan rokok, misalnya rokok klobot (daun jagung), rokok sigaret kretek tangan dengan pembungkus kertas papier, dan rokok sigaret mesin.
Nawanto mengaku koleksi museum ini masih kurang memadai. "Kami berharap ada pihak yang bersedia menyumbangkan benda-benda yang berkaitan dengan proses rokok untuk menambah isi museum," ujarnya.
Museum Kretek ini dibangun oleh para pengusaha rokok yang tergabung dalam Persatuan Pengusaha Rokok Kudus. Pembangunannya digagas oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu, Supardjo Rustam, pada 1980. Lokasinya dipilih di areal tanah bondo deso seluas 2,5 hektare di Desa Getaspejaten.
Di lokasi museum ini juga ada bangunan rumah adat Kudus yang berbahan kayu jati dengan ukuran 8 x 10 meter. Rumah itu dibuat pada abad ke-17.
Sejak berdiri, Museum Kretek dikelola oleh Persatuan Pengusaha Rokok Kudus. Baru dua tahun terakhir ini pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Kudus, setelah kondisinya kurang terawat dan sebagian bangunannya rusak. Dana bagi hasil cukai tembakau yang digelontorkan ke Kudus digunakan untuk mengelola museum ini, sebagian dana lainnya untuk mempercantik museum. "Ini untuk mendekatkan masyarakat dengan museum dan cinta kepada museum," tutur Nawanto.
Pengunjung museum pun berangsur-angsur ramai. Kalau dua tahun silam jumlah pengunjungnya dalam setiap bulan bisa dihitung dengan jari tangan, belakangan ini jumlahnya sudah naik drastis, menjadi 200-300 orang per bulan.
Seorang pengunjung dari Tanjung Karang, Lampung, mendukung pengelolaan museum ini. "Museum ini harus tetap dilestarikan karena menyangkut sejarah kebudayaan Kudus."

Kejayaan Telah Memudar
Rokok kretek, menurut naskah Pranacitra, seperti dikutip oleh Ong Hok Ham dan Amen Budiman dalam buku Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, sudah ada sejak abad ke-17 dan menjadi barang dagangan masyarakat Jawa. Di Kudus, awalnya Rokok kretek diperkenalkan oleh pengusaha lokal, Jamahri, sekitar 1870-1880.
Jamahri, yang waktu itu menderita sakit dada akut, mengupayakan beragam pengobatan. Tapi upayanya itu tidak membuahkan hasil. Ia pun mencoba mengoleskan minyak cengkeh ke dada dan punggungnya. Ternyata sakitnya mereda. Selanjutnya, Jamahri mulai mengunyah cengkeh dan kondisi badannya pun semakin membaik.
Ringkas cerita, Jamahri lalu merajang halus cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau. Racikan tersebut dibungkus dengan daun jagung, selanjutnya bagian ujungnya disulut api, kemudian diisap. Rokok Jamahri pun kemudian menjadi klangenan banyak orang. Akhirnya Jamahri mendirikan pabrik rokok.
Keberhasilannya itu ditiru banyak orang, dan Kudus pun dikenal sebagai Kota Kretek. Keberhasilan pengusaha "pribumi" itu kemudian diikuti oleh para pengusaha Tionghoa. Di antara dua kalangan pengusaha tersebut kemudian terjadi persaingan hebat. Pada 1918, persaingan itu mencapai puncaknya, dan meletuslah gerakan anti-Cina pada Oktober 1918. Ratusan perusahaan gulung tikar.Yang kini masih berjaya hanya sekitar 15 pabrik. Di antaranya adalah Djarum, Nojorono, dan Sukun. [tempo]

Minggu, 25 April 2010

Legenda Romeo - Juliet di Kudus

Diceritakan bahwa Sunan Muria mempunyai banyak murid, yang bukan hanya belajar ilmu agama, melainkan juga berkesenian dan olah kanuragan. Murid-muridnya datang ke Colo (di lereng Gunung Muria) dari berbagai tempat seperti Tayu, Pati, Jepara, Juana, dan Pandanaran (yang kini disebut Semarang). Di antara muridnya adalah Raden Bagus Rinangku dari Pandanaran.

Syahdan, karena sang pemuda tampan dan sakti, putrinya yang bernama Raden Ayu Nawangsih jatuh hati dengan pemuda tersebut, begitu juga dengan Raden Bagus Rinangku. Namun Sunan Muria ternyata tidak merestui hubungan keduanya, karena ia telah memilih Kyai Cebolek sebagai calon menantu yang akan dijodohkan dengan puterinya tersebut.

Untuk memisahkan keduanya, maka Sunan Muria menugaskan Raden Bagus Rinangku untuk menumpas para perusuh yang merampok dan membunuh di sekitar daerah Muria. Tapi ternyata pemuda Pandanaran ini bukan hanya berhasil membasminya, melainkan juga membuat salah seorang di antaranya bertaubat dan memperdalam ilmu agama. Kelak mantan perampok ini terkenal sebagai Kiai Masyhudi.

Kemudian Sunan Muria segera memberi tugas lain, yakni agar Raden Bagus Rinangku menjaga sawah yang padinya sedang menguning di daerah Masin (yang letaknya dari Muria) dengan begitu ia berharap hubungan cinta kasih dengan puterinya, Raden Ayu Nawangsih, akan terputus. Raden Bagus Rinangku pun melaksanakan titah sang guru tanpa ada prasangka macam-macam.

Suatu hari, Sunan Muria mengecek tugas yang diberikan pada muridnya tersebut. Alangkah kagetnya beliau, ketika melihat burung-burung didiamkan saja oleh Bagus Rinangku memakan dan merusak padi, sehingga sawah tersebut menjadi amburadul. Sunan Muria juga terkejut melihat puterinya, Raden Ayu Nawangsih, sudah berada di situ berduaan dengan Raden Bagus Rinangku. Maka Sunan Muria menanyakan hal ihwalnya kepada Raden Bagus Rinangku, dan Bagus Rinangku menjawab bahwa yang ia pahami dengan “menjaga burung” ya menjaga supaya burung-burung bisa berpesta memakan padi. Untuk menebus kesalahannya, maka dengan ilmu (kesaktian) yang dimilikinya Bagus Rinangku pun mengembalikan sawah dan padi yang hancur tersebut seperti keadaan semula.

Tindakan Bagus Rinangku ini membuat sang guru murka, karena ia merasa telah dilecehkan oleh muridnya tersebut. Sunan Muria mengeluarkan panah dan mengancam Bagus Rinangku (dengan maksud menakut-nakuti), tetapi di luar dugaan panah tersebut melesat dari busurnya dan menembus dada pemuda itu sampai ke punggungnya.

Raden Bagus Rinangku pun jatuh tersungkur meregang nyawa. Melihat pujaan hatinya dalam keadaan sekarat, Raden Ayu Nawangsih lalu menubruk dan memeluk tubuh kekasihnya, sehingga ujung panah yang telah menembus punggung itu menembus pula perutnya. Sepasang kekasih itupun tewas bersama di hadapan Sunan Muria menjemput takdir Tuhannya.

Bagus Rinangku dan Ayu Nawangsih lantas dimakamkan di puncak bukit dengan iringan airmata penduduk. Selesai pemakaman, masih banyak penduduk yang meratapi dan menangis sedu-sedan atas kepergian sepasang kekasih tersebut. Melihat keadaan tersebut, Sunan Muria pun berbicara kepada mereka semua, “Kalian semua tidak beranjak, tidak bergerak seperti pohon jati.” Orang-orang yang masih tersedu-sedan itu pun berubah menjadi pohon jati, yang kini merupakan hutan jati di Masin (sekarang masuk desa Kandangmas, Kec. Dawe, Kudus).

Kisah ini adalah legenda yang ada di kalangan penduduk sekitar Muria. Riwayat semacam ini tentu tidak mencerminkan karakter Sunan Muria yang terkenal sebagai seorang alim ulama yang bijaksana. Wallahu a’lam bish-shawab.